Strategi dan taktik Islami dalam kehidupan sehari-hari di bidang tauhid, ibadah, akhlak, muamalah, dan siyasah.

Berfokus pada manajemen (ruang lingkup, waktu, finansial, dan mutu), dan penampilan terbaik alami dari karakter ruhani dan jasmani sesuai ajaran Islam.

~ Hamba Allah ~

Al Hambra, Granada, Andalusia, Spanyol - 1001 Inventions: Muslim heritage in our world. Foundation for Science, Technology, and Civilization

2. Moslem Interextrasystems: ST II: Satu Tradisi: Manhaj atas sunnah Rasulullah SAW

Part I: Manhaj, Sunnah, dan Al-Jamaah


Isi:

A. Manhaj
B. Sunnah
C. Al-Jamaah
D. Akhirul kalam


Definisi-definisi:

A. Manhaj

1. Berdasarkan firman Allah ta’ala Surat Al Maidah ayat 48: "Untuk tiap2 umat diantara kamu, kami berikan syariat dan manhaj”

Penjelasan Syaikh Abdul Qodir al-Arna`uth –Manhaj secara etimologi & terminologi adalah jalan yg nyata dan terang. (http://www.almanhaj.or.id/content/1916/slash/0)

2. Manhaj dalam bahasa Arab sama dengan minhaj, yang bermakna: Sebuah jalan yang terang lagi mudah. (Tafsir Ibnu Katsir 2/63, Al Mu’jamul Wasith 2/957)


B. Sunnah

Sebelum masuk pengertian sunnah itu, barangkali kita semua sering mendengar di kehidupan sekitar kita “apa itu sunnah?” Sunnah adalah suatu amalan yang bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Terlebih lagi kalau kita berbicara amalan atau ibadah dalam Islam haruslah bedasarkan Qoolllah (Al-quran) dan Qoolarrasuul (As-sunnah) sehingga ibadah yang dilakukan tidak sia-sia dan tidak tertolak bahkan sesat. Info selengkapnya seputar ibadah berikut foot notes nya silahkan visit to (http://mediabilhikmah.multiply.com/journal/item/33).

Mengenai Kata Sunnah pasti selalu diiringi kata sesudahnya yaitu Al-Jama’ah sehingga kalau digabungkan menjadi AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH sehingga perlu bagi kaum muslim mengetahui apa itu Sunnah dan Jama’ah. Mudah2an dari penjabaran ini akan terjawab ; apa itu AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH dan kenapa kaum muslim harus merujuk kpd AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH dan bagaimana AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH yang sebenarnya karena merekalah yang memahami Manhaj Dakwah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam.


I. Definisi SUNNAH

1. SUNNAH menurut bahasa

  • Menurut lbnu Katsir, "Kata sunnah dengan segala variasinya disebutkan berulang-ulang dalam hadits, yang arti asalnya adalah "perjalanan hidup" dan "perilaku'." (An-Nihayah 2: 409).
  • Sunnah secara bahasa bermakna metode (thoriqoh), jalan (sabiil).

Salah satu dalil yang menunjukkan makna ini adalah hadits dari Abu ‘Amr Jarir ibn ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa yang memulai sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahala dan pahala orang-orang yang mengikuti amal itu setelahnya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memulai sunnah kejelekan maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti setelahnya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (H.R. Muslim)

Sebab hadits ini turun terdapat dalam hadits yang panjang yang menceritakan tentang sekelompok orang dari suku Mudhar yang datang ke Madinah dalam keadaan hampir telanjang dengan hanya memakai kain shuf tebal dengan bergaris-garis yang dilubangi dari kepala. Hingga akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang untuk bersedekah. Hingga datanglah seorang dari Anshar yang memberikan sedekah dengan membawa pundi-pundi besar dan hampir tidak kuat untuk mengangkatnya. Akhirnya setelah orang ini, orang-orang pun mengikuti memberikan sedekah.

Maka perlu menjadi catatan di sini bahwa sunnah hasanah yang dimaksud dalam hadits ini tidak dapat dimaknai dengan bid’ah hasanah. Terdapat beberapa alasan, yaitu:

  • Melihat dari sebab turunnya hadits ini yaitu tentang bersedekah, maka orang itu tidaklah berbuat bid’ah.
  • Dalam hadits disebutkan tentang sunnah yang baik dalam Islam, sedangkan bid’ah bukan berasal dari Islam.
  • Dalam hadits disebutkan adanya sunnah hasanah dan sayi’ah. Padahal setiap bid’ah adalah sesat.
  • Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hasanah (baik) dan sayi’ah (buruk). Padahal dalam ibadah tidaklah kita bisa menilainya dari akal, maka bagaimana kita bisa menilai suatu ibadah itu hasanah atau syai’ah (terutama teruntuk orang-orang yang menjalankan bid’ah dan menganggap itu adalah bid’ah hasanah karena menganggap amalan mereka adalah baik). http://ibnuismailbinibrahim.blogspot.com/2009/02/memahami-kata-sunnah.htmlc)

As-Sunnah secara bahasa adalah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan, baik dalam perkara kebaikan maupun kejelekan. (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolany rahimahullah, jilid 13) http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1756


‎2. SUNNAH menurut Istilah (Terminologi)

a) Adapun pengertian dalam istilah syari’ah adalah petunjuk dan jalan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya berada di atasnya, baik dalam hal ilmu, ‘aqidah, ucapan, ibadah, akhlaq maupun mu’amalah. Sunnah dalam makna ini wajib untuk diikuti. (Al-Washiyyah Al-Kubra fi ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hal.23)

Jadi makna As-Sunnah di sini bukan seperti dalam pengertian ilmu fiqih, yaitu: suatu amalan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan tidak berdosa http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1756


b) Syaikh Abdul Muhsin ibn Hamd Al ‘Abbad dalam kitab Al Hatstsu menjelaskan bahwa kata sunnah memiliki empat penggunaan, yaitu:

  • Sunnah dengan makna setiap yang datang dalam Al-Qur’an dan Hadits maka ia adalah sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan itu adalah jalan yang dilalui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Tentang hal ini, Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,Artinya: “Barang siapa yang membenci sunnahku, maka ia bukanlah termasuk umatku.” (H.R. Bukhari [5063] dan Muslim [1401]
  • Sunnah dengan makna hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu segala hal yang disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat (baik fisik/moral), ketetapan dan perjalanan Nabi baik sebelum atau sesudah menjadi Nabi. Penggunaan ini dimaknai demikian ketika kata “sunnah” disebutkan bersamaan dengan kata “Al-Qur’an”. Dalilnya adalah sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,                                         “Wahai manusia! Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian berpegang teguh dengannya, maka tidak akan tersesat selamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.”                                                                                                          Dan sabdanya, “Sesungguhnya aku meninggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat selamanya setelah berpegang dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnahku.” (H.R. Hakim dalam Mustadrok[1/93]).                                                                                                                              Dalil yang lain adalah perkataan para ulama ketika menyebutkan beberapa masalah dan perkara ini didasarkan pada Kitab (Al-Qur’an), Sunnah dan Ijma.

b.3. Sunnah digunakan sebagai lawan dari bid’ah.

Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ‘Irbadh Ibn Sariyah,

“Maka sesungguhnya barangsiapa dari kalian yang berumur panjang, akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah khalifah yang mendapatkan hidayah dan bimbingan. Peganglah kuat-kuat dan gigitlah dengan gigi geraham. Berhati-hatilah kalian terhadap perkara yang diada-adakan (bid’ah -pen). Karena segala perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud (4607) – dan ini adalah lafadznya – dan Tirmidzi (2676) dan Ibnu Majah (43 – 44) Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shohih”)

b.4. Sunnah digunakan dengan makna mandub atau mustahab (yang dicintai), yaitu suatu perintah dalam bentuk anjuran dan tidak dengan bentuk pewajiban. Istilah ini digunakan oleh para ahli fiqih. Contohnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

“Sekiranya tidaklah memberatkan umatku, maka aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak sholat.” (H.R. Bukhari [887] dan Muslim [252]).

Maka bersiwak setiap kali hendak sholat tidak diwajibkan akan tetapi hanya sampai batasan anjuran. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mewajibkan perintah bersiwak setiap kali akan sholat karena takut memberatkan umatnya.

Dalam penyebutan kata sunnah secara umum maka dimaknai dengan makna pertama yaitu syari’at yang sempurna ini. Setelah mengetahui makna sunnah baik secara bahasa dan secara istilah syar’i, maka hendaklah kini kita lebih berhati-hati dalam menjalankan amal ibadah kita. Semoga tidak ada yang terjebak dengan istilah sunnah hasanah dengan sunnah sayi’ah sehingga seseorang memaknai adanya bid’ah hasanah dan sayi’ah dan menganggap amalan yang dia kerjakan adalah ibadah dan termasuk bid’ah hasanah. Dan juga semoga tidak ada yang beralasan tidak menjalankan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi w asallam yang merupakan kewajiban baginya - misalnya memakai jilbab yang syar’i, makan dan minum dengan tangan kanan dan yang lainnya - dengan beralasan itu adalah sunnah (dengan makna mustahab). Wallahul musta’an.


Maraji’:

1. Al Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnati wa Tahdziru minal bida’i wa Bayanu Khotoriha. Syaikh Abdul Muhsin ibn Hamd al ‘Abbad.

2. Terjemah Riyadush Shalihin, takhrij Syaikh M. Nashiruddin Al Albani jilid 1. Imam Nawawi. Cetakan Duta Ilmu. 2003.

3. Penjelasan kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad bin Hambal oleh Ustadz Aris Munandar (catatan kajian ilmiyah).http://muslimah.or.id/manhaj/definisi-sunnah.html


c) Ustadz Abdul Hakim bin Amir Badat dalam Kajian Ilmiah “Indah hidup dalam Sunnah” yang diselenggarakan oleh MUI Jakarta Utara di JIC tanggal 07 Agustus 2009. Ana hanya mengambil sebagian perkataan beliau mengenai Sunnah menurut istilah syar’iyah ada 2 makna, sbr :

c.1) Sunnah adalah setiap perkataan, perbuatan, taqrir nabi Muhammad demikian juga dengan sifat beliau, pengertian ini sama dengan hadits

c.2) Sunnah adalah perjalanan kehidupan beliau dalam mendakwahkan, mengajarkan, mempraktekkan islam secara keseluruhannya dari manhaj cara beragama beliau, akidah beliau, peribadatan beliau, muamalah beliau, adab & akhlaq beliau secara menyeluruh tentang al-islam dan ini lawan dari bid’ah. Inilah yang fundamental dan esensial terkadang luput atau ketidaktahuan umat muslim. Mungkin lebih lengkapnya nanti ana tag dalam video yang akan ana share nanti ^_^Inilah yang fundamental dan esensial terkadang luput atau a nanti ana tag dalam video yang akan ana share nanti ^_^


II. Al-Jama'ah

Al-Jama’ah, secara bahasa, berasal dari kata “Al-Jam’u” dengan arti mengumpulkan yang bercerai-berai. (Qamus Al-Muhith, karya Al-Fairuz Abadi rahimahullah)

Adapun secara istilah syari’ah berarti orang-orang terdahulu dari kalangan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in dan para pengikut mereka hingga Hari Kiamat. Mereka berkumpul dan bersatu di atas Al-Haq (kebenaran) yang bersumber dari Al-Kitab dan As-Sunnah, serta para imam mereka. (Al-I’tisham, karya Al-Imam Asy-Syathibi rahimahullah, I/28)

Dari penjelasan diatas, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang konsisten berpegang teguh dengan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah dari kalangan shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Tabi’in (murid para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam), Tabi’ut Tabi’in (murid para Tabi’in), dan para imam yang mengikuti mereka, serta orang-orang yang mengikuti jalan mereka hingga hari Kiamat dalam perkara ‘aqidah, ucapan, dan amalan. (Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah, karya Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah, hal. 33)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang paling antusias dalam merujuk kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdasarkan pada pemahaman para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah PRINSIP UTAMA dalam agama ini dan merupakan satu-satunya kunci bagi umat ini untuk bersatu dan terhindar dari perpecahan. Hal ini ditegaskan dan ditekankan oleh Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Allah dan senantiasa mendengarkan dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habsyi. Barangsiapa di antara kalian yang hidup (berumur panjang), niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para Kulafa’ur Rosyidin. Gigitlah sunnah itu dengan gigi-gigi geraham kalian (peganglah kuat-kuat-red). Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama), karena sesungguhnya setiap perkara yang baru yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (H.R. Ahmad dan Ashabus Sunan, kecuali An-Nasa’i)

Dan dalam riwayat An-Nasa’i disebutkan bahwa Rasulullah bersabda: “dan setiap kesesatan akan masuk An-Nar (neraka).”

Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam juga menjelaskan tentang adanya satu kelompok yang diselamatkan oleh Allah, dan satu-satunya yang selamat dari An-Nar (neraka). Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari shahabat (murid beliau) Mu’awiyah bin Abu Sufyan radliyallahu ‘anhuma:

“Ketahuilah bahwa Ahlul Kitab sebelum kalian telah terpecah belah menjadi 72 golongan, dan sungguh umat ini juga akan terpecah menjadi 73 golongan. Yang 72 golongan di dalam neraka. Dan satu golongan di dalam Al-Jannah (surga), mereka itu adalah Al-Jama’ah.” (H.R. Abu Dawud, Ahmad, Ad-Darimi dan Al-Hakim. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 203-204, I/404).

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa para shahabat radliyallahu ‘anhum bertanya:

“Siapakah Al-Jama’ah itu, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku pada hari ini berada di atasnya (manhaj, aqidah, ibadah, mu’amalah, dan akhlaq yang islami-red).” (H.R. Ath-Thabarani di Al-Mu’jam Ash-Shaghir, I/256)

Dari hadits-hadits tersebut, Rasulullah menegaskan bahwa satu-satunya “solusi” agar umat selamat (terhindar) dari perpecahan, kebinasaan, kesesatan adalah hanya dengan mengembalikan segala urusan agama kepada “Sunnah” beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan “Sunnah” para shahabat radliyallahu ‘anhum. Berpegang teguh dengan “Sunnah” para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bermakna mengembalikan semua pemahaman terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadits) kepada pemahaman mereka, karena di tengah-tengah merekalah ayat-ayat Al-Qur’an turun dan mereka mendengar langsung pengertiannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Terlalu banyak untuk disebutkan di sini ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mengabarkan tentang tingginya keutamaan dan kedudukan para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di sisi Allah dan Rasul-Nya . Mereka adalah manusia terbaik setelah Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Terbaik dalam segala hal dalam urusan agama ini, ilmu, iman, taqwa, pemahaman, pengamalan, pembelaan terhadap agama ini, dsb. Untuk itulah kita diperintahkan mengikuti petunjuk dan jalan mereka. Bahkan, barangsiapa mengikuti jalan selain jalannya para shahabat , niscaya Allah akan biarkan dirinya tenggelam dalam kesesatan.

Allah berfirman dalam Al-Qur`an surat An-Nisa: 115, yang artinya:

“Barangsiapa menentang Ar-Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan selain jalannya kaum mukminin, maka Kami biarkan dia leluasa bergelimang dalam kesesatan (berpaling dari kebenaran), dan Kami masukkan dia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali.”

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah lainnya menjelaskan bahwa ‘jalannya kaum mukminin’ dalam ayat di atas maksudnya adalah jalannya para shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Sebutan lain dari Ahlus Sunnah

As-Salafy Adalah nama lain dari Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Begitu juga Al-Firqatun Najiyah, Ath-Thaifah Al-Manshurah.

Istilah “As-Salafy” atau “Salafy” atau “As-Salafus Shalih” sebenarnya merupakan istilah syar’iyyah (sesuai dengan syariat Islam). Istilah tersebut bukanlah slogan keduniaan yang berkenaan dengan politik, sosial, ekonomi ataupun yang lainnya. Bukan pula nama bagi individu, organisasi, yayasan, partai ataupun aliran-aliran tertentu yang mengatasnamakan Islam.

Arti ‘Salaf’ secara bahasa adalah ‘pendahulu’ bagi suatu generasi (kamus Al-Muhith). Sedangkan dalam istilah syariah berarti orang-orang pertama yang memahami, mengimani, memperjuangkan, serta mengajarkan Islam yang diambil langsung dari shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in. Istilah yang lebih lengkap bagi mereka ini ialah ‘As-Salafus Sholih’ (para pendahulu yang sholih-red). (Al-Aqidah As-Salafiyah baina Al-Imam Ibnu Hanbal wal Imam Ibnu Taimiyyah, karya Dr. Sayyid Abdul Aziz As-Sily, hal.25-28)

Sedangkan seorang muslim yang mengikuti pemahaman ini dinamakan ‘Salafy’ atau ‘As-Salafy’ (majalah As-Shalah, no. 9, halaman 86-90, keterangan Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah)Penggunaan istilah ‘Salaf’ atau ‘Salafy’ sebenarnya bukanlah hal asing atau sesuatu yang baru dalam agama ini. Istilah ini banyak kita jumpai dalam kitab-kitab para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sejak dahulu.Selain disebut As-Salafy, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, disebut juga dengan Al-Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) atau juga Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan). Mereka senantiasa ada pada setiap generasi untuk membimbing umat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Akan senantiasa ada dari umatku (tiap generasi) sekelompok orang yang selalu tampak di atas Al-Haq, tidak akan menyusahkan mereka orang-orang yang meninggalkan mereka sampai datang keputusan Allah (Hari Kiamat).” (Al-Imam Al-Bukhari dan Muslim)

Merekalah Al-Firqatun Najiyah Al-Manshurah. Para imam besar ahlus sunnah (semisal Al-Imam Asy-Syafi’i, Ahmad, Abdullah Ibnul Mubarak, Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Ajurry, An-Nawawi, dan lain-lain) sepakat bahwa mereka adalah para ulama ‘Ahlul Hadits’.

Ahlul Hadits adalah para ulama besar di jamannya. Merekalah yang paling berhak untuk dijadikan rujukan pada setiap permasalahan dalam agama ini, karena mereka adalah golongan yang paling kuat hujjahnya, paling tahu tentang Al-Qur’an sebagaimana dikatakan oleh ‘Umar ibnul Khotthob :

“Akan ada sekelompok orang yang mendebat kamu dengan syubhat-syubhat (kerancuan pemahaman) yang mereka ambil dari Al-Qur’an, maka bungkamlah syubhat-syubhat mereka itu dengan Sunnah (hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam), karena orang yang tahu tentang sunnah/hadits adalah orang yang paling tahu tentang Al-Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Al-Ajurry dalam Asy-Syari’ah, hal. 48, dan kitab lainnya).

Demikianlah para pembaca yang mulia, berdasarkan pada keterangan-keterangan di atas, maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah satu-satunya yang akan mendapatkan pertolongan Allah dan selamat dari siksa api neraka. Oleh karena itu, wajib bagi kita untuk meniti jejak mereka, baik dalam masalah manhaj, aqidah, ibadah, akhlaq, atau mu’amalah. Tidak ada pilihan yang lain. Karena mereka tidaklah ber-ta’ashshub (fanatik) kepada pendapat seseorang/organisasi tertentu, kecuali hanya kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah satu dan kokoh diatas satu prinsip, walaupun tempat mereka berbeda-beda dan tersebar di berbagai negeri.

Alhamdulillah, di masa kita sekarang ini sangat mudah untuk mendapatkan bimbingan dari para ulama Ahlul Hadits (Ahlus Sunnah). Kitab-kitab mereka tersebar di berbagai pelosok negeri, bahkan dari tulisan para imam As-Salafus Shalih yang terdahulu hingga para ulama Ahlul Hadits di masa ini.Semoga Allah senantiasa membimbing kita diatas “Ash-Shirathal Mustaqim”. Yaitu jalannya orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dari kalangan para Nabi, shahabatnya dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai pewaris dan penjaga risalah Ilahi… Amin.

Wallahu a’lam bish showab.http://darussalaf.or.id/st



D. Akhirul Kalam

Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdasarkan Manhaj Shalafush Shalih khususnya dalam mencari kebenaran dalam beragama. Ada suatu nasehat yg baik dari K.H. M. Najib Muhammad (Gus Najib) bagi para penuntut ilmu dalam mencari kebenaran

" Ikutilah orang karena dia benarJangan kau ikuti kebenaran karena orangKenalilah kebenaran maka kamu akan kenal siapa yang benar"

Mudah2an kita bisa senantiasa berusaha untuk mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan menaatinya dan tidak menyelisihinya. Karena itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dirinya dicintai dan dirahmati serta diberi hidayah oleh Ya...ng Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ


“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (Q.S Ali ‘Imran: 31-32)

Maka di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa menaati Rasul-Nya adalah konsekuensi dan bukti dari cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara menyelisihinya adalah tanda kekufuran dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa menaati Rasul-Nya akan memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” (Q.S An-Nur: 54)

Begitupula Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan bahwa taat kepada Rasul adalah sebab yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132) Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdasarkan Manhaj Shalafush Shalih khususnya dalam mencari kebenaran dalam beragama. Ada suatu nasehat yg baik dari K.H. M. Najib Muhammad (Gus Najib) bagi para penuntut ilmu dalam mencari kebenaran" Ikutilah orang karena dia benarJangan kau ikuti kebenaran karena orangKenalilah kebenaran maka kamu akan kenal siapa yang benar"Mudah2an kita bisa senantiasa berusaha untuk mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan menaatinya dan tidak menyelisihinya. Karena itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dirinya dicintai dan dirahmati serta diberi hidayah oleh Ya...ng Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya: قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ“  Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 31-32)

Maka di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa menaati Rasul-Nya adalah konsekuensi dan bukti dari cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara menyelisihinya adalah tanda kekufuran dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa menaati Rasul-Nya akan memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:  وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا“   Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” (An-Nur: 54)  Begitupula Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan bahwa taat kepada Rasul adalah sebab yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:  وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ“  Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)



Part II: Manhaj, Aqidah, dan Uslub Dakwah

"... Tidak kita jumpai dalam sejarah seorang Nabi yang memulai dakwahnya dengan politik, perang, tasawuf, filsafat dan lainnya. Maka inilah cirri utama dakwah yang benar yaitu memprioritaskan tauhid pada umat serta memberantas syirik dari hati manusia, karena tauhid merupakan pokok kemashlahatan, apabila hati manusia telah subur dengan tauhid maka syari’at-syari’at lainnya akan dia terima secara mudah. Demikian pula sebaliknya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Ketahuilah bahwa dalam diri manusia terdapat sekerat daging, apabila baik maka seluruh jasad menjadi baik, dan apabila rusak maka seluruh jasad pun rusak, ketahuilah itu adalah hati.” (H.R. Bukhari, Muslim).

Isi:

I. Aqidah dan Manhaj
II. Manhaj Haraki
III. Perbedaan antara Manhaj, Aqidah, dan Uslub Da'wah
IV. Manhaj Dakwah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam


I. Aqidah dan Manhaj

http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fabuzubair.wordpress.com%2F2007%2F08%2F04%2Fmanhaj-dakwah-nabi-shalallahu-%25E2%2580%2598alaihi-wassalam%2F&h=105a8


Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan dan Syaikh Muqbil

س 44 : هل هناك فرق بين العقيدة والمنهج ؟


Syaikh Shalih al Fauzan mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Apakah ada perbedaan antara akidah dengan manhaj?”

جـ/ المنهج أعم من العقيدة، المنهج يكون في العقيدة وفي السلوك

والأخلاق والمعاملات وفي كل حياة المسلم، كل الخِطة التي يسير عليها المسلم تسمى المنهج .


Jawaban beliau, “Manhaj itu lebih luas dari pada akidah. Ada manhaj dalam berakidah, berperilaku, berakhlak, bermuamalah dan dalam semua sisi kehidupan seorang muslim. Seluruh langkah yang ditempuh oleh seorang muslim (dalam seluruh aspek kehidupan, pent) itu disebut dengan istilah manhaj.

أما العقيدة فيراد بها أصل الإيمان، ومعنى الشهادتين ومقتضاهما هذه هي العقيدة .

Sedangkah yang dimaksud dengan akidah pokok-pokok iman (baca:rukun iman), makna dan konsekuensi dua kalimat syahadat. Itulah yang disebut dengan akidah”

[al Ajwibah al Mufidah ‘an As-ilah al Manahij al Jadidah hal 131, Terbitan Darul Minhaj Mesir cetakan keempat tahun 1426 H].

Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi’i mengatakan,

فمنهاجنا كتاب الله و سنة رسول الله- صلى الله عليه و على آله و سلم- كما قال تعالى: يأيها الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة

“Manhaj kita –kaum muslimin, pent- adalah seluruh ajaran al Qur’an dan sunah Rasulullah sebagaimana yang Allah firmankan yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman masuklah kalian ke dalam Islam secara totalitas” (QS al Baqarah: 208)” [Perkataan ini beliau sampaikan dalam kata pengantar beliau untuk buku al Siraj al Wahhaj bi Sahih al Minhaj karya Abul Hasan al Ma’ribi hal 11, Maktabah al Idrisi Shan’a Yaman, cetakan kedua tahun 1421 H].


Catatan:

Kedua penjelasan ulama di atas bertemu pada titik yang sama yaitu manhaj atau minhaj seorang muslim sejati adalah seluruh ajaran al Qur’an dan Sunnah. Seluruh ajaran al Qur’an dan sunah baik terkait dengan adab, akhlak, ibadah dan muamalah adalah manhaj (baca: jalan) seorang muslim. Manhaj atau jalan seorang muslim adalah mengikuti pandungan yang telah diberikan oleh seorang muslim.

Sehingga tidak berdusta, tidak khianat dst adalah manhaj (baca: jalan) seorang muslim dalam masalah akhlak. Makan dengan tangan dll adalah manhaj seorang muslim dalam masalah adab. Rutin menjalankan shalat lima waktu adalah diantara manhaj seorang muslim dalam bidang ibadah. Tidak mau berjudi adalah diantara manhaj seorang muslim dalam bidang muamalah.

Dengan penjelasan ini tentu pengertian manhaj seorang muslim itu lebih luas dari pada akidah seorang muslim. Oleh karena itu, Syaikh Abu Bakar Jabir al Jazairi menulis sebuah buku berjudul Minhaj al Muslim yang berisikan ajaran al Qur’an dan sunah dalam adab, akhlak, ibadah dan muamalah.

Oleh karena seorang yang ingin belajar manhaj ahli sunah yang merupakan seorang muslim sejati harus belajar berbagai ilmu keislaman. Sehingga belajar fikih, akidah, akhlak, adab, tafsir dan hadits adalah bagian dari belajar manhaj.

Walhasil, dua ulama di atas memaknai istilah manhaj dengan maknanya dalam bahasa Arab yaitu jalan. Sehingga manhaj seorang muslim adalah jalan seorang muslim. Itulah seluruh ajaran al Qur’an dan sunah.


II. Manhaj Haraki

http://www.mail-archive.com/major@milis.plasa.com/msg00548.html


Assalamu'alaikum wr.wb.

Ikhwan sekalian, Insya Allah mulai hari ini saya akan berusaha menayangkan subject di atas yang di tulis oleh Syaikh Munir Muhammad Ghadhban.

Agar muatannya bisa di serap dengan baik, saya akan sampaikan secara bertahap mulai dari makna manhaj haraki hingga selesai bab per bab Insya Allah.

Mungkin beberapa ikhwan sudah menbaca berkali-kali, tapi saya kira tidak ada salahnya kalau kita sama-sama simak kembali untuk mengambil ibroh dari perjalanan dakwah uswah hasanah kita Rosulullah saw sehingga kita mendapatkan gambaran yang jelas tentang apa yang di lakukan oleh Rosulullah dalam melaksanakan tugas mulianya baik sebagai pribadi, sebagai suami, sebagai seorang ayah sebagai Imam, panglima perang dst.



Makna Manhaj Haraki

Manhaj Haraki (metode gerakan) mempunyai makna langkah berencana yang diterapkan Rosulullah saw semenjak beliau diutus sebagai rasul hingga wafatnya.

Kita perlu mengikuti tahap-tahap perjalanan hidupnya, langkah demi langkah, dengan tujuan memperjelas titik acuan kita dalam melaksanakan gerakan Islam. Untuk itu kita tiru langkah Rosulullah saw berlandaskan firman Allah:

"Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah suri teladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia benyak menyebut Allah. (Al-Ahzab:21).

Tentu saja tindakan mengikuti langkah dan tahap-tahap ini merupakan perintah yang bersifat ibadah sebelum menunaikan perintah rincian lainnya. Kita akan mencapai tujuan kita mengikuti petunjuk-petunjuknya, yang kemudian sampailah kita kepada keridhaan Allah.

Ditinjau dari sisi lain, langkah politis gerakan Islam bertujuan untuk menegakkan hukum Allah di muka bumi. Kami mempunyai keyakinan, bahwa system gerakan ini merupakan arahan robbani. Karena Allah memantapkan Nabi-Nya dalam semua langkahnya. Ia bukan lahir karena reaksi dari suasana keruh yang sedang dihadapinya.

Setelah ulasan yang sederhana ini kita akan meniti langkah seterusnya dari metode ini. Demikian juga sasaran setiap tahap tanpa memasuki pembahasan mendetail, tapi hanya sekedar yang diperlukanuntuk membuktikan tahap-tahap sasaran tersebut.

Tahapan yang kita akan bahasdalam metoda ini terdiri dari lima tahap sebagai berikut:

1. Dakwah dan Struktur Tertutup (Sirriyatu ad-Da'wah wa Sirriyatu at-Tandzim).
2. Dakwah Terbuka dan Struktur Tertutup (Jahriyatu ad-Da'wah wa Sirriyatu at-Tandzim).
3. Mendirikan Negara (Iqamatu ad-Daulah)
4. Pemantapan Sendi-sendi Negara (Ad-Daulatu wa Tatsbitu Da'aimiha).
5. Menyebarkan Dakwah ke Seluruh Dunia (Intisyaru ad-Da'wah fil Ardhi).


Bila kami adakan pembagian pada permulaan dan akhir dalam masing-masing tahapan, maka bisa diperoleh gambaran sebagai berikut:

1. Dakwah tertutup, tahap ini dimulai semenjak Muhammad diutus sebagai rasul hingga turun wahyu wahyu dalam surat Asy-Syu'ara ayat 214: "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat."

2. Dakwah terbuka dan struktur tertutup, tahap ini berakhir pada tahun kesepuluh kerasulan.

3. Mendirikan negara, tahap ini berakhir pada 10 Hijriah.

4. Pemantapan negara, tahap ini berakhir setelah ditandatangani perjanjian Hudaibiyah.

5. Menyebarkan dakwah ke seluruh dunia, tahap ini telah mapan setelah wafatnya Rasulullah saw. Yang jelas, berakhirnya masing-masing tahap merupakan permulaan tahap berikutnya.




III. Perbedaan antara Manhaj, Aqidah, dan Uslub Da'wah

http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1599&bagian=0

Oleh

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halaby Al-Atsary


Pertanyaan.


Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Al-Halaby Al-Atsary dita : Aku ialah pemula dalam menuntut ilmu syar’i, dgn ini kuharap anda dpt menerangkan perbedaan antara manhaj dan aqidah, dan apakah ada beda antara uslub dakwah dan manhaj dakwah?

Jawaban.

Manhaj dakwah ialah penyampaian materi ilmiyyah yg mrpk landasan dasar berpijak aqidah. Sangat Mustahil suatu aqidah yg benar diletakkan dalam suatu tempat yg batil kemudian aqidah ini tetap bersih, umpamakan kita meletakkan air yg bersih lagi jernih di dalam sebuah gelas yg bernajis dan kotor sekelilingnya, apakah air tadi tetap bersih dan jernih atau berubah menjadi kotor disebabkan najis dan kotoran yg melekat di gelas tadi ? Begitu jugalah hubungan antara manhaj dan aqidah.

Sebagaimana kita ketahui bahwa aqidah yg dibawa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan diterima oleh para sahabat melaui proses talaqqi tentulah melalui cara-cara tertentu yg disebut dgn manhaj (metode). Maka kedua hal ini tdk dpt dipisahkan satu sama lainnya.

Jika terkadang berpisah satu sama lain dalam realita atau situasi dan kondisi tertentu tetapi sebenar kedua akan tetap saling memepengaruhi satu sama lainnya. Ha ada dua kemungkinan :

Pertama: Aqidah salaf yg merubah suatu manhaj menyimpang sehingga menjadi bermanhaj salafi, atau kemungkinan kedua : Malah sebalik manhaj menyimpang yg merubah aqidah salaf. Nauzubillah.

Yaitu berubah seseorang yg manhaj menyimpang dgn aqidah yg menyimpang menjadi selamat manhaj seperti aqidah yg selamat (dgn mengikuti aqidah yg benar) atau sebalik aqidah mengikuti manhaj yg keliru sehingga aqidah menjadi menyimpang pula. ini poin pertama.

Adapun poin kedua, yakni dalam bergaul dan menyikapi manusia dalam permasalahan ini ada beberapa sikap:

Pertama:

Yaitu orang-orang yg menerima da’wah ini dan tunduk dibawah hukum-hukumnya. Orang seperti ini hrs dipergauli dgn cara baik-baik, dan jika dia beruntuk kesalahan atau kekeliruan maka kesalahn ini tdk dpt disamakan dgn jenis manusia berikutnya,maka orang seperti ini hrs dinasehati diperingati, diperintahkan kpd kabajikan dan dilarang dari kemungkaran, dipersilahkan untuk turut dalam majlis-majlis ilmu.

Jika dia memiliki ijtihad ilmiyyah dalam permasalahan yg diperbolehkan berijtihad di dalamnya, sementara dalam pandanganmu ijtihad keliru, maka hendaklah engkau beruntuk sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kita. Tetapi jika ijtihad bukan pada masalah-masalah yg boleh diijtihadkan, ataupun pada masalah-masalah yg telah baku maka ijtihad tdk dianggap dan tdk didengar. Hal seperti ini hrs diterangkan terlebih dahulu kpd dan dinasehati. Tetapi jika dia tdk menerima nasehat dan malah membantah maka dia diperlakukan sebagaimana kita memperlakukan jenis orang berikut ini.


Kedua :

Adapun jenis kedua. Yaitu orang-orang yg memang pada dasar tdk mengakui manhaj salaf dan tdk mengikuti sunnah bagaimana kita dpt memakaikan pakaian yg dia sendiri melepaskan (maksud bagaimana kita menisbahkan kpd salaf sementara dia sendiri tdk mengakuinya, -pent)

[Seri Soal Jawab Dauroh Syar’iyah Surabaya 17-21 Maret 2002 Dengan Masyayaikh Murid-murid Syaikh Muhammad Nashirudiin Al-Albani Hafidzahumullahu Diterjemahkan oleh Ustadz Ahmad Ridwan , Lc]



IV. Manhaj Dakwah Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam

Di ambil dari Majalah Al Furqan Edisi 6 Tahun IV Muharram 1426 H

Kesemarakan dakwah di berbagai lapisan masyarakat dengan beragam media pada zaman sekarang cukup menggembirakan. Semuanya berusaha untuk menuju kejayaan dan mengentaskan umat dari keterpurukan. Namun, sudah benarkah metode dakwah yang kita saksikan selama ini? Bagaimana metode dakwah yang sesuai dengan petunjuk Rabbul Alamin yang dipraktekan oleh para rasul dan penerus perjuangan mereka? Bekal apakah yang harus kita miliki untuk mencontoh mereka? Tanda Tanya diatas mencoba untuk mengetuk hati kita guna mengoreksi dan introspeksi lalu memperbaiki diri.

Pada kesempatan ini kita akan mengkaji satu hadist yang semoga dapat membantu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dan mencairkan hati yang keras.

Dari Ibnus Abbas radhiallahu anhu berkata, “tatkala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda kepadanya,

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab, maka jadikanlah dakwah pertama kalimu tentang Syahadat Laa Ilaaha Illallah. Apabila mereka menerimanya, maka kabarkanlah pada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. Apabila mereka telah mentaatimu, maka kabarkanlah pada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang di ambil dari harta orang-orang kaya dari mereka lalu diserahkan kepada fakir miskin di antara mereka. Dan janganlah mengambil harta kesayangan mereka dan hati-hatilah dari doa orang yang terzhalimi, sebab tidak ada penghalang antara Alloh dan doanya (doanya mustajab)” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dll, hadits ini shahih)

Biografi Singkat Perawi Hadits

Beliau adalah Abul Abbas, Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim bi Abdu Manaf Al Qurasyi AL Hasyimi radhiallahu anhuma, sepupu Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Lahir tiga tahun sebelum hijriah dan khitan ketika Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam wafat. Beliau berwajah tampan, berkulit putih dan berparas tinggi. Beliau di juluki AL Bahr (Laut) disebabkan keluasan ilmunya. Beliau pernah didoakan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam, “ Ya Allah, anugerahkanlah pemahaman agama baginya dan ilmu tafsir.” (Lihat Mu’jam Shohabah 3/1700 oleh AL Ashfahani, Usdul Ghobah 3/260 Ibnu Atsir).

Imam Dzahabi rahimahullah berkata dalam Ma’rifah Al Qurro’ Al Kibar 1/46,”Dan Manaqib (keistimewaan) Ibnu Abbas banyak sekali, keluasan ilmunya sangat luar biasa, tak seorang pun lebih alim darinya pada masanya. Beliau wafat di Thaif tahun 68 H dan dishalati oleh Muhammad bin Hanafiyyah seraya mengatakan, “Pada hari ini telah wafat robbani ummah (pendidik umat).”


Penjelasan Hadits

Hadits ini sangat agung sekali, mengandung faedah dan ilmu yang sangat banyak sekali. Namun penulis hanya akan menukil sebagian saja, khususnya yang berkaitan tentang dakwah dan aqidah.


“Dari Ibnu Abbas berkata,’Tatkala Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengutus Muadz ke Yaman…”

Dalam penggalan hadits ini ada beberapa faedah:

1. Pentingnya dakwah

Penyebaran ilmu syar’i dapat dilakukan dengan berbagai wasilah yang disyariatkan, diantaranya adalah dengan pengutusan para da’i ke masyarakat, baik di kota maupun di desa. Alloh berfirman:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”


Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam juga berkata pada Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu,

“Allah memberikan hidayah kepada seorang saja lewat perantaramu itu jauh lebih baik daripada unta-unta merah (harta kesayangan orang Arab).” (HR.Bukhari, Muslim)

Dan alangkah indahnya icapan Ibnu Hazm, Harapanku terhadap dunia adalah Ilmu yang kutebarkan di pelosok kota dan desa. Mengajak manusia kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah
Dimana saat ini banyak orang yang melupakannya.


2. Keutamaan sahabat Muadz bin Jabal radhiallahu anhu

Beliau mempunyai kedudukan yang tinggi pada diri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Beliau pernah bersabda, “Wahai Muadz, demi Allah saya mencintaimu.” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam juga pernah memboncengnya. Dan diantara keistimewaannya juga apa terkandung dalam hadist ini, dimana Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengutusnya sebagai mubaligh, da’i mufti dan hakim ke negeri Yaman. Dan masih banyak lagi keistimewaannya sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar dalam AL Ishobah 6/107.

3. Kejernihan hati para sahabat

Hal ini nampak nyata pada diri sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma tatkala menyebutkan keutamaan ini bagi Muadz dan tidak menyembunyikannya, bahkan lebih jelas lagi ucapan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, “sesungguhnya Muadz adalah seorang hamba yang khusyu’ dan taat kepada Alloh, lurus dan tidak termasuk orang-orang yang musyrik. Sifat yang serupa dengan Nabi Ibrahim .” (Hilya Auliya 1/230)

Demikian keadaan para sahabat, sehingga sebagaimana kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Minhajus Sunnah 6/364 bahwa mereka adalah manusia yang kuat persatuaannya dan paling jauh dari perpecahan. semoga hal ini menjadi cermin bagi para da’i ila Alloh, agar mereka saling mencintai dan tidak merasa sesak dada untuk menyebut keutamaan saudaranya hanya takut hina dan perasaan gengsi di depan masyarakat atau muridnya.

4. Pentingnya ilmu syar’i dalam berdakwah

Ilmu merupakan syarat utama dan bekal pertama dalam dakwah. Maka orang yang jahil tidak pantas dan tidak boleh terjun berdakwah, karena merusaknya akan lebih banyak daripada memperbaikinya. Segi pendalilannya, Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tidaklah memilih sembarangan orang dari Badui dan sejenisnya tetapi memilih diantara sahabatnya yang telah mantap ilmunya seperti Muadz bin Jabal radhiallhu anhu. Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda, “Muadz bin Jabal adalah manusia yang paling alim tentang ilmu halal dan haram.” (H.R. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 1/328 dan dishahihkan oleh Al Albani). Demikian pula Abu Mus Al Asy’ari, Ali bin Abi Thalib dan lain-lain.

Sungguh merupakan musibah besar bila dakwah yang begitu mulia diserahkan kepada setiap orang sebagaimana banyak kita jumpai di negeri kita, dimana artis dan pelawak pun boleh ikut serta, bebas berbicara tentang agama yang mulia ini. Inna lillahi wa inna Ilaihi raji’un.

Sungguh Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat tiba.” (H.R. Bukhari)

Al Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari 3/419, “Pengutusan Muadz ke Yaman adalah pada tahun ke sepuluh sebelum hajinya Nabi sebagaimana disebutkan oleh Imam Bukhari. Para ulama bersepakat bahwa Muadz tetap tinggal di Yaman hingga datang masa Abu Bakar kemudian pergi menuju Syam dan wafat disana.” (lihat Mu’jam Buldan 6/226).

“Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan Ahli kitab.”

Dalam penggalan hadits ini ada beberapa faedah:

  1. Pentingnya wasiat kepada orang yang hendak bepergian
  2. Ahli kitab yakni Yahudi dan Nasrani, karena mereka di Yaman berjumlah mayoritas di bandingkan orang-orang musyrikin Arab. (Al Mufhim 1/181 oleh Imam Al Qurthubi)
  3. Pengetahuan Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam tentang keadaan manusia, situasi dan kondisi mereka. Hal ini bisa jadi lewat wahyu dari Alloh atau penglaman. (Al Qaulul Mufid 1/132 oleh Ibnu Utsaimini
  4. Hendaknya bagi seorang da’i untuk mengetahui keadaan masyarakat yang akan di dakwahi. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengabarkan Muadz demikian agar dia mengetahui keadaan orang yang akan dia dakwahi dan bersiap-siap untuk menghadapi mereka. Jadi seorang da’i harus mengetahui situai, kondisi serta tingkatan pengetahuan mereka dalam ilmu serta dialog sehingga dia bersiap-siap dan memenangkan AL Haq lewat tangannya. Janganlah kamu kira bahwa ahli batil tidak memiliki argumentasi dan bahwasanya mereka satu tingkatan dalam ilmu. (Zadu Da’iyyah hal 12- As Shaid Tsamin Fi Rosail Ibnu Utsaimin 1/12)
  5. Hendaknya seorang muslim menguasai ilmu syar’i yang mapan sebagai pelindung baginya dari berbagai syubhat yang ditiupkan oleh para penyebar kesesatan. Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah tatkala menasehati muridnya Ibnul Qoyyim rahimahullah, "Janganlah kamu jadikan hatimu terhadap syubhat seperti spon yang menyerapnya serta merta, tetapi jadikanlah hatimu seperti kaca yang kuat, hingga tatkala syubhat lewat mampir padanya, dia dapat melihat dengan kejernihannya dan mengusir dengan kekuatannya. Namun bila engkau jadikan hatimu menyerap setiap syubhat, maka dia akan menjadi sarang syubhat.” Ibnul Qoyyim berkomentar,”Saya tidak mengetahui suatu wasiat yang lebih berharga bagiku dalam memerangi syubhat daripada wasiat ini.” (Miftah Dar Sa’adah 1/443). Dan camkanlah baik-baik dalam hatimu bahwa,”Hati itu lemah, sedangkan syubhat kencang menerpa” sebagaimana nasehat para ulama kita. (Suyar A’lam Nubala 7/261)
  6. Pentingnya tugas menyingkap syubhat bagi seorang yang dikaruniai ilmu. Syaikh Shaleh bin Abdul Aziz Alu Syaikh berkata, “Menyingkap syubhat termasuk pokok syari’at Islam dan kewajiabn yang sangat agung, karena Allah membantah orang-orang musyrikin dalam Al Qur’an dan menyingkap syubhat-syubhat mereka. Allah berfirman: “Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah sesudah agama itu diterima maka bantahan mereka itu sia-sia saja, disisi Tuhan mereka. Mereka mendapat kemurkaan dan bagi mereka azab yang sangat keras.” (QS. As Syura:16). Seandainya tidak ada yang menunaikan tugas ini, niscaya kebenaran akan tercampur dengan kebatilan sehingga menyesatkan manusia. Oleh karena inilah, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam mengutus Muadz bin Jabal radhiallahu anhu ke Yaman dengan tujuan untuk membongkar syubhat-syubhat mereka. (Syarah Kasyfu Subhat hal 17). “Maka jadikanlah dakwah pertama kalimu tentang syahadat Laa Ilaaha Illallah”


Dalam penggalan hadits ini ada beberapa faedah;


1. Prioritas utama dan pertama dalam berdakwah adalah perbaikan tauhid dan aqidah umat.

Inilah manhaj dakwah yang ditempuh oelh para rasul semenjak Nabi Nuh ‘Alaihis Salam hingga Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam. Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ’Sembahlah Allah saja dan jauhilah Thaghut.’” (Q.S. An Nahl :36)

Alloh juga berfirman:

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, maliankan Kami wahyukan kepadanya; bahwasanya tidak ada Ilah yang haq melainkan Aku , maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (H.R.Al Anbiya:25)

Allah juga mengkabarkan tentang dakwah Nabi Nuh, Hud, Shaleh, Syu’aib, ternyata dakwah mereka satu yaitu,

“Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tiada tuhan bagimu selain Dia.” (Q.S. Hud:50,61,84)

Tidak kita jumpai dalam sejarah seorang Nabi yang memulai dakwahnya dengan politik, perang, tasawuf, filsafat dan lainnya. Maka inilah cirri utama dakwah yang benar yaitu memprioritaskan tauhid pada umat serta memberantas syirik dari hati manusia, karena tauhid merupakan pokok kemashlahatan, apabila hati manusia telah subur dengan tauhid maka syari’at-syari’at lainnya akan dia terima secara mudah. Demikian pula sebaliknya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda:

“Ketahuilah bahwa dalam diri manusia terdapat sekerat daging, apabila baik maka seluruh jasad menjadi baik, dan apabila rusak maka seluruh jasad pun rusak, ketahuilah itu adalah hati.” (H.R. Bukhari, Muslim).


Anehnya pada zaman sekarang dakwah tauhid dianggap oleh banyak orang dengan dakwah pemecah belah umat, ketinggalan zaman dan sebagainya. Hanya kepada Allah lah kita mengadukan semua ini.


2. Hakekat tauhid adalah Laa ilaha Illallah

Semua aktivis dakwah merasa bahwa mereka telah mendakwahkan tauhid dan memahami kandungan kalimat Laa ilaaha Illallah padahal kenyataannya mereka masih terjerembab dalam belenggu kesyirikan. Oleh karenanya, kita harus memahami masalah penting ini secara benar.

Hadits ini banyak riwayat dengan lafadz ilaa ayyasyhadu allaa ilaaha illallah, dan telah shahih pula lafadz yg lainnya seperti ayyuwahhidullah dan ayya’budullah. semua lafadz ini tidaklah kontrakdisi, bahwa saling menafsirkan dan menyempurnakan, karena makna “Laa ilaha illallah” adalah mengesakan Alloh, dalam segala macam bentuk ibadah kepada Alloh dan tidak menyekutukannya degan sesuatu pun. Inilah hakekat tauhid yang merupakan hikmah diciptakannya manusia dan diutusnya para rasul, diturunkannya kitab-kitab dan seterusnya.

Maka bukanlah makna laa ilaaha illallah hanya sekedar membacanya, sekalipun ribuan kali, atau dengan mengartikannya “Tiada pencipta selain Allah” karena orang-orang musyrik dahulu pun sudah meyakini bahwa tidak ada pencipta selain Alloh tetapi dengan keyakinan itu belum menjadikan mereka menjadi muslim. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh jika kamu tanya kepada mereka,’Siapa yang menciptakan langit dan bumi?’niscaya mereka akan menjawab,’Semua diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (Q.S Az Zukhruf: 9)

Perselisihan para rasul dengan kaumnya bukanlah dalam masalah siapa yang menciptakan langit dan bumi serta alam semesta, tetapi dalam masalah memurnikan/ mengikhlaskan ibadah seperti berdo’a, istighosah, menyembelih dan sebagainya dan tidak menyekutukan Alloh sekalipun kepada makhluk yang paling mulia seperti malaikat, nabi , orang shalih dan lainnya.

“Apabila mereka menerimanya….”

Dalam penggalan ini terdapat faedah diantaranya bahwa seorang da’i hendaknya bertahap dalam berdakwah. Dimulai dari yang paling penting kemudian yang penting kemudian tahap berikutnya. Inilah manhaj Al Qur’an yang diajarkan kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan menjadi pelajaran bagi kita sebagai umatnya.

‘Aisyah radhiallahu anha pernah mengatakan,” Sesungguhnya surat yang pertama kali turun adalah berbicara tentang surga dan neraka, sehingga tatkala manusia telah menerima Islam maka turunlah syari’at halal dan haram. Seandainya yang pertama kali turun ‘Janganlah kalian meminum khomr’ niscaya mereka akan mengatakan, ‘Kami tidak akan meninggalkan khomr selamanya.’ Dan seandainya turun,’Janganlah kalian zina’ niscaya mereka akan mengatakan,’ Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya’” (HR.Bukhari)

Jadi seorang da’i harus benar-benar arif dalam berdakwah.

“Dan berhati-hatilah atas doa orang yang terzhalimi”

Dalam penggalan hadits ini terdapat faedah bahwa seorang da’i hendaknya berakhlak yang baik, bergaul di tengah masyarakat dengan lemah lembut dan tidak menzhalimi mereka dengan bentuk apapun. Ingatlah wahai saudaraku, bahwa engkau adalah cermin masyarakatmu, engkau tidak sama seperti masyarakat lainnya, Apabila seorang da’i telah dicap jelek oleh masyarakatnya, apakah kira-kira mereka akan mendengarkan ucapannya. Sungguh, sedikit kesalahan yang dilakukan oleh seorang da’i akan lebih membekas dan menjadi pembicaraan orang, berbeda dengan lesalahan orang biasa, mereka akan menganggapnya biasa.

Akhirnya semoga Alloh menjadikan kita semua pejuang-pejuang kebenaran dan menetapkan hati kita diatasnya. Amin



Sebelumnya: http://ruh-islami.blogspot.com/2011/03/1-moslem-interextrasystems-st-i-satu.html

Selanjutnya: http://ruh-islami.blogspot.com/2011/03/3-moslem-interextrasystems-st-iii.html
0 Komentar untuk "2. Moslem Interextrasystems: ST II: Satu Tradisi: Manhaj atas sunnah Rasulullah SAW"

Back To Top