Strategi dan taktik Islami dalam kehidupan sehari-hari di bidang tauhid, ibadah, akhlak, muamalah, dan siyasah.

Berfokus pada manajemen (ruang lingkup, waktu, finansial, dan mutu), dan penampilan terbaik alami dari karakter ruhani dan jasmani sesuai ajaran Islam.

~ Hamba Allah ~

Al Hambra, Granada, Andalusia, Spanyol - 1001 Inventions: Muslim heritage in our world. Foundation for Science, Technology, and Civilization

Langit dan Bumi yang Tujuh

Ternyata alam semesta yang besarnya tak terkira, tak berbatas, dan tak berujung ini berasal dari sesuatu yang tak ada, kemudian dari suatu yang bersatu padu, dan kemudian mengembang dan berbentuk sangkakala. Dalam Al Qur’an, yang diturunkan 14 abad silam di saat ilmu astronomi masih terbelakang, mengembangnya alam semesta digambarkan sebagaimana berikut ini: “dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu kemudian Kami pisahkan antara keduanya dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup maka mengapakah mereka tiada juga beriman? (21:30) Kemudian informasi berikut: “Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya.” (QS Adz-Dzariyat : 47)



Kata “langit”, sebagaimana dinyatakan dalam ayat ini, digunakan di banyak tempat dalam Al Qur’an dengan makna luar angkasa dan alam semesta. Di sini sekali lagi, kata tersebut digunakan dengan arti ini. Dengan kata lain, dalam Al Qur’an dikatakan bahwa alam semesta “mengalami perluasan atau mengembang”. Dan inilah yang kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan masa kini. Hingga awal abad ke-20, satu-satunya pandangan yang umumnya diyakini di dunia ilmu pengetahuan adalah bahwa alam semesta bersifat tetap dan telah ada sejak dahulu kala tanpa permulaan. Namun, penelitian, pengamatan, dan perhitungan yang dilakukan dengan teknologi modern, mengungkapkan bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki permulaan, dan ia terus-menerus “mengembang”.

Pada awal abad ke-20, fisikawan Rusia, Alexander Friedmann, dan ahli kosmologi Belgia, George Lemaitre, secara teoritis menghitung dan menemukan bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang. Fakta ini dibuktikan juga dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, seorang astronom Amerika, menemukan bahwa bintang-bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Sebuah alam semesta, di mana segala sesuatunya terus bergerak menjau hi satu sama lain, berarti bahwa alam semesta tersebut terus-menerus “mengembang”. Pengamatan yang dilakukan di tahun-tahun berikutnya memperkokoh fakta bahwa alam semesta terus mengembang. Kenyataan ini diterangkan dalam Al Qur’an pada saat tak seorang pun mengetahuinya. Ini dikarenakan Al Qur’an adalah firman Allah, Sang Pencipta, dan Pengatur keseluruhan alam semesta.

Menurut hasil pengamatan Cosmic Microwave Background Radiation dan pengamatan Supernovae tipe Ia, disimpulkan bahwa alam semesta (universe) mengalami percepatan yang artinya terus mengembang sehingga jarak antara galaksi-galaksi (yang tidak berada dalam satu grup) rata-rata semakin menjauh satu sama lain. Pemisalannya adalah jika kita menggambar 2 titik di permukaan di sebuah balon, dan kemudian kita meniup balon tersebut. Maka jarak kedua titik tersebut akan semakin besar. Tentu saja perlu diingat bahwa ini hanya sebagai contoh, namun bukan sesungguhnya.

Ternyata alam semesta yang berbentuk sangkakala atau dikenal juga dengan trompetnya malaikat Isrofil. Dalam suatu kisah diceritakan: “Sebelum kiamat datang, apa yang sekarang di lakukan oleh malaikat Isrofil?” Jawabnya, “Sedang membersihkan terompetnya.” Mungkin yang ada di benak kita malaikat Isrofil itu seperti sesosok seniman yang asyik mengelap terompet kecilnya sebelum tampil diatas panggung.

Sebenarnya seperti apa sih terompetnya — atau yang biasa juga dikenal dengan sangkakala– malaikat Isrofil itu? Sekitar enam tahun silam sekelompok ilmuwan yang dipimpin oleh Prof. Frank Steiner dari Universitas Ulm, Jerman melakukan observasi terhadap alam semesta untuk menemukan bentuk sebenarnya dari alam semesta raya ini sebab prediksi yang umum selama ini mengatakan bahwa alam semesta berbentuk bulat bundar atau prediksi lain menyebutkan bentuknya datar saja. Menggunakan sebuah peralatan canggih milik NASA yang bernama “Wilkinson Microwave Anisotropy Prob” (WMAP), mereka mendapatkan sebuah kesimpulan yang sangat mencengangkan karena menurut hasil penelitian tersebut alam semesta ini ternyata berbentuk seperti sangkakala atau terompet. Di mana pada bagian ujung belakang terompet (baca alam semesta) merupakan alam semesta yang tidak bisa diamati (unobservable), sedang bagian depan, di mana bumi dan seluruh sistem tata surya berada merupakan alam semesta yang masih mungkin untuk diamati (observable).

Di dalam kitab Tanbihul Ghofilin Jilid 1 hal. 60 ada sebuah hadits panjang yang menceritakan tentang kejadian kiamat yang pada bagian awalnya sangat menarik untuk dicermati. Abu Hurairah Ra berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Allah telah selesai menjadikan langit dan bumi, Allah menjadikan sangkakala (terompet) dan diserahkan kepada malaikat Isrofil, kemudian ia letakkan dimulutnya sambil melihat ke Arsy menantikan bilakah ia diperintah“. Saya bertanya : “Ya Rasulullah apakah sangkakala itu?” Jawab Rasulullah : “Bagaikan tanduk dari cahaya.” Saya tanya : “Bagaimana besarnya?” Jawab Rasulullah : “Sangat besar bulatannya, demi Allah yang mengutusku sebagai Nabi, besar bulatannya itu seluas langit dan bumi, dan akan ditiup hingga tiga kali. Pertama : Nafkhatul faza’ (untuk menakutkan). Kedua : Nafkhatus sa’aq (untuk mematikan). Ketiga: Nafkhatul ba’ats (untuk menghidupkan kembali atau membangkitkan).”

Dalam hadits di atas disebutkan bahwa sangkakala atau terompet malaikat Isrofil itu bentuknya seperti tanduk dan terbuat dari cahaya. Ukuran bulatannya seluas langit dan bumi. Bentuk laksana tanduk mengingatkan kita pada terompet orang – orang jaman dahulu yang terbuat dari tanduk. Kalimat seluas langit dan bumi dapat dipahami sebagai ukuran yang meliputi/mencakup seluruh wilayah langit (sebagai lambang alam tak nyata/ghoib) dan bumi (sebagai lambang alam nyata/syahadah). Atau dengan kata lain, bulatan terompet malaikat Isrofil itu melingkar membentang dari alam nyata hingga alam ghoib.

Jika keshohihan hadits di atas bisa dibuktikan dan data yang diperoleh lewat WMAP akurat dan bisa dipertanggungjawabkan maka bisa dipastikan bahwa kita ini bak rama – rama yang hidup di tengah – tengah kaldera gunung berapi paling aktif yang siap meletus kapan saja. Dan Allah telah mengabarkan kedahsyatan terompet malaikat Isrofil itu dalam surah An Naml ayat 87 : “Dan (ingatlah) hari ditiupkan sangkakala, maka kagetlah segala yang ada di ruang angkasa dan yang ada di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Dan semua datang menghadapnya dengan kecut”.

 Bagian terakhir dari kehidupan Akhirat adalah Surga dan Neraka. Surga adalah tempat yang digambarkan sangat indah dan penuh fasilitas, yang disediakan bagi orang-orang yang banyak berbuat kebajikan. Sedangkan Neraka, adalah tempat yang digambarkan sangat mengerikan yang disediakan untuk orang-orang yang banyak berbuat dosa dan kejahatan.

Dimanakah kedua tempat itu berada? Sampai sejauh ini, kebanyakan kita tidak memperoleh kesimpulan yang cukup memadai untuk menggambarkan Surga. Padahal sebenarnya Al Qur'an memberikan informasi yang sangat banyak tentang keduanya. Jika kita mencermatinya, Insya Allah kita bisa memperoleh gambaran yang lumayan baik.

Yang pertama, Surga itu ternyata luasnya seluas langit dan Bumi. Hal ini disebutkan Allah didalam firmanNya

QS. Ali Imran (3) : 133
“Dan bersegeralah kalian kepada ampunan Allah dan Surga yang luasnya seluas langit dan Bumi, yang disediakan kepada orang-orang yang bertakwa.”

Seberapakah luasnya langit dan bumi? menjawab pertanyaan ini, harus terlebih dahulu pertanyaan : Langit yang mana, dan Bumi yang mana? Lho, apakah ada beberapa langit dan Ternyata langit kita ada 7 buah, dan demikian Apakah ada informasinya di dalam Al Qur'an? yang dijelaskan oleh Allah di dalam firmanNya.

QS Ath Talaaq (65) : 12
"Allah-lah yang menciptakan tujuh langit, dan seperti itu pula Bumi.


Bagaimanakah menjelaskan bahwa langit dan Bumi itu ada tujuh? Hal ini memang sangat abstrak, tetapi sebenarnya bisa dijelaskan dengan teori dimensi.

Akan tetapi secara ringkas dan global saya coba uraikan di sini. Berulangkali, Allah memang mengatakan bahwa Dia menciptakan langit alam semesta ini sebenarnya bukan hanya satu, melainkan tujuh.

Langit yang pertama dihuni oleh manusia, hewan, dan tumbuhan, serta benda-benda langit seperti bintang, planet, galaksi, supercluster dan lain sebagainya. Langit yang disebut sebagai langit Dunia ini berdimensi 3.

Langit kedua dihuni oleh bangsa jin. Mereka memiliki dimensi 4. Alamnya sebenarnya berdampingan dengan kita, akan tetapi tidak bersentuhan, karena memang dimensinya berbeda. Perbandingannya bagaikan 'Dunia Bayangan' yang 2 dimensi dan hidup di permukaan tembok, dengan 'Dunia Manusia' yang berdimensi 3, hidup di dalam ruangan. Kedua dunia itu hidup berdampingan tetapi tidak bercampur aduk.

Langit ketiga sampai ke enam, berturut-turut adalah berdimensi 5, 6, 7, dan 8. Semua langit itu digunakan dalam masa penantian' oleh jiwa-jiwa manusia yang telah mati, selama di Alam Barzakh. Rasulullah, diceritakan pernah bertemu jiwa para Nabi ketika menjalani Mi'raj ke langit yang ke tujuh.

Langit yang ke tujuh adalah langit tertinggi, yang berdimensi 9. Di langit inilah terdapat Surga dan Neraka. Ketika berada di Sidratul Muntaha, di langit ke tujuh, Rasulullah pernah melihat Surga. Hal ini diceritakan di ayat berikut ini.

QS. An Najm (53) : 14 - 15
“Di Sidratul Muntaha.”
“Di dekatnya ada Surga tempat tinggal”


Langit ke tujuh adalah langit yang 'terbesar' dan 'tertinggi' di antara ke tujuh langit itu. Sebab, menurut teori dimensi, langit yang lebih rendah dimensinya, termuat oleh langit yang lebih tinggi dimensinya. Berarti, langit ke tujuh memuat langit ke enam, memuat langit ke lima, ke empat ke tiga, ke dua dan ke satu.

Bayangkan, ibarat sebuah kubus (dimensi 3) yang tersusun dari lembaran-lembaran luasan (dimensi 2), dan tersusun oleh garis-garis (berdimensi 1), serta memuat titik titik dalam jumlah tak berhingga, sebagai komponen penyusunnya.

Pendek kata, langit ke tujuh memuat seluruh eksistensi yang ada di langit pertama sampai ke tujuh. Maka, ketika Surga itu berada di langit ke tujuh, sebenarnya Surga itu memang memiliki luas yang seluas luasnya: terbentang antara langit dan Bumi. Bukan hanya langit Dunia, melainkan langit Akhirat, yaitu di langit yang ke tujuh. Akan tetapi, semua itu bisa diobservasi dari Bumi yang kita tempati ini. Kenapa bisa demikian?

Bumi yang kita tempati ini berada di dalam pertama alias langit Dunia. Akan tetapi, karena langit pertama menjadi komponen penyusun Langit Kedua, maka Bumi ini juga berada di langit ke dua. Jika sebuah garis tersusun dari titik-titik, dan sebuah luasan tersusun dari garis garis yang dijejer, maka titik-titik itu pun akan menjadi penyusun luasan

Demikian pula, Bumi sebagai komponen penyusun langit pertama, juga tetap eksis di langit ke dua, di langit tiga sampai langit yang ke tujuh.

Hanya saja, karena sudut pandang setiap langit adalah berbeda beda, maka Bumi yang sama dilihat dari langit pertama akan berbeda dibandingkan dengan dilihat dari langit kedua. Demikian pula akan berbeda jika dilihat dari langit ke tiga sampai langit ke tujuh.

Sehingga, kita bisa memahami apa yang dikatakan di QS. 65 : 12 di atas, bahwa sebagaimana langit, Bumi temyata juga ada 7 buah. Sebenarnya, bukan ada 7 buah Bumi, melainkan Bumi yang satu tersebut memiliki 7 wajah sesuai dengan sudut pandang langitnya.

Dari Bumi yang satu itu juga kita sebenarnya bisa mengobservasi langit yang ke tujuh. Untuk bisa merasakan Surga dan Neraka, kita tidak perlu beranjak ke mana-mana. Cukup dari Bumi saja!

Karena itu Allah mengatakan bahwa Akhirat itu sebenarnya terjadi di Bumi, seperti dikatakan Allah di QS. 7:25. Di Bumi itulah kita hidup, di Bumi itu kita mati, dan di Bumi itu pula kita dibangkitkan.

Jadi, pada kenyataannya, kita ini sudah berada di dalam Akhirat (langit ke tujuh) sejak hidup di dunia. Hanya karena keterbatasan fisik dan indera kita saja, maka kita tidak menyadari bahwa kita telah berada di dalam alam Akhirat sejak awal.


Alam Akhirat bukanlah alam yang sekarang tidak ada, lantas nanti diadakan setelah terjadinya kiamat. Bukan begitu. Alam Akhirat ini sekarang sudah ada. Bahkan, sejak alam semesta diciptakan, Allah sudah menciptakan Akhirat, Surga dan Neraka di langit yang ke tujuh. Tapi kita belum bisa merasakannya, karena badan kita 'terikat' di dimensi 3. Sementara itu, Akhirat berada di dimensi 9.

Oleh sebab itu, Surga ini bisa ditampakkan atau tidak ditampakkan oleh Allah kepada kita, karena ia memang sudah ada. Persoalannya, ia tersembunyi dari pandangan kita dikarenakan terbatasnya dimensi manusia. Jika batas-batas dimensi itu disingkapkan oleh Allah, kita akan bisa 'melihatnya' atau bahkan merasakannya.

Nah, hal itu bakal terjadi kepada kita setelah terjadinya kiamat Bumi. Alam semesta bergerak menciut kembali, sehingga hukum alamnya akan berbalik 180 derajat. Indera kita, termasuk 'mata hati', bakal bisa mengobservasi dan merasakan seluruh langit yang tujuh itu dari Bumi. Kita lantas bisa 'melihat' Surga dan Neraka, termasuk para malaikat yang hidup di langit ke tujuh.



Big Bang (Dentuman Akbar)

Dalam Al-Qur’an, Al-Anbiya’(21):30, Allah berfirman: “Tidakkah orang orang kafir itu tahu bahwa langit dan bumi mulanya berpadu, lalu Kami pisahkan keduanya. Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup. Tidakkah mereka percaya ?”.

Informasi Allah bahwa semua makhluk hidup dijadikan dari air mudah kita fahami, sebab kenyataannya 70–75% penyusun sel-sel makhluk hidup (manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme) adalah air. Kehidupan baru terbentuk di muka bumi setelah adanya air. Banyak makhluk hidup yang tidak memerlukan oksigen, tetapi tidak ada makhluk hidup yang survive tanpa air. Yang perlu mendapat perhatian adalah informasi bahwa langit dan bumi dahulunya padu lalu dipisahkan-Nya. Ini sangat erat dengan tema pokok kita: menalari terciptanya alam semesta!

Pada tahun 1929, seorang ahli astronomi Amerika, Edwin Powell Hubble, mengamati bahwa garis spektrum cahaya dari galaksi-galaksi di luar Bimasakti bergeser ke arah panjang gelombang yang lebih besar, atau bergeser ke arah “merah” (red shift). Berdasarkan hukum fisika yang dikenal sebagai Efek Doppler, hal itu berarti bahwa galaksi-galaksi saling menjauhi satu sama lain. Kemudian diketahui bahwa makin jauh galaksi tersebut, makin besar pula kecepatan menjauhnya. Dengan perkataan lain, alam semesta sekarang berada dalam keadaan berekspansi (mengembang). Lebih dari 14 abad yang silam, tatkala ilmu astronomi modern belum ada, Firman Suci telah berkumandang: "Dan langit Kami membangunnya dengan kekuasaan dan sesungguhnya Kami yang mengembangkannya (wa inna lamusi`un)" dalam Adz-Dzariyat(51) : 47.

Konsekuensinya, alam semesta di masa silam tentu lebih rapat daripada sekarang. Maka pada tahun 1946, George Gamow dari Universitas George Washington, dengan dibantu Ralph Alpher dari Universitas Johns Hopkins dan Hans Bethe dari Universitas Cornell, menyusun hipotesis: pada mulanya seluruh isi alam semesta ini berpadu dalam tingkat kepadatan yang tidak terhingga (infinite density), lalu dengan proses Dentuman Akbar (Big Bang) maka terciptalah alam semesta ini.

Pada tahun 1964, James Peebles dan Robert Dicke dari Universitas Princeton memprediksi bahwa jika benar alam semesta tercipta melalui proses Big Bang, tentu sisa radiasi dentuman akbar itu masih bisa diamati sekarang. Dan menurut perhitungan mereka, sisa radiasi itu setara dengan suhu sekitar tiga sampai lima derajat Kelvin. Setahun kemudian, Arno Penzias dan Robert Wilson dari Laboratorium Bell, New Jersey, berhasil menangkap sisa radiasi Big Bang itu dengan antena yang supersensitif, yaitu radiasi yang tersebar secara seragam di segala penjuru jagad raya (dikenal sebagai cosmic microwave background) pada tingkat sekitar tiga derajat Kelvin, tepatnya 2,726 K. Atas penemuan yang sangat berharga ini, Penzias dan Wilson meraih hadiah Nobel bidang fisika pada tahun 1978.

Kini, peristiwa Big Bang yang memulai penciptaan alam semesta itu bukan hanya sekedar teori, tetapi sudah menjadi paradigma ilmu fisika dan astronomi modern. Bilakah peristiwa Big Bang itu terjadi? Atau, berapakah usia alam semesta sekarang? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu berkenalan dengan apa yang disebut Tetapan Hubble (H), yaitu kecepatan galaksi-galaksi saling menjauh: 70 kilometer per detik per megaparsec. Satu megaparsec adalah 3,26 juta tahun-cahaya, dan satu tahun-cahaya adalah 9,4605 x 10(12) km atau sekitar 10 triliun km (sebagai bandingan, keliling bumi cuma 40.000 km, jarak matahari-bumi cuma 150 juta km). Artinya galaksi-galaksi dengan jarak 3,26 juta tahun-cahaya saling menjauh dengan kecepatan 70 km/detik. Oleh karena kecepatan cahaya 300.000 km/detik, dan waktu adalah jarak dibagi kecepatan (jika Anda mengendarai mobil sejauh 300 km dengan kecepatan 60 km/jam, waktu yang Anda perlukan adalah 5 jam), maka usia alam semesta = 3,26 x 10(6) x 3 x 10(5) dibagi 70, yaitu 1,397 x 10(10) tahun atau sekitar 14 miliar tahun.


Enam Periode penciptaan alam semesta dijelaskan oleh Allah SWT dalam Surat Fusshilat(41) ayat 9 – 12 sebagai berikut:

(9) Katakanlah: Sungguhkah kamu ingkar kepada Yang menciptakan bumi dalam dua Periode dan kamu jadikan bagi-Nya sekutu? Itulah Tuhan alam semesta.

(10) Dia menjadikan rawasiya (peneguh) dari atasnya, dan Dia memberkahi serta menentukan kadar aqwat(daya penjagaan)nya dalam empat Periode. (Rawasiya itu) sama bagi para penanya (peneliti alam semesta).

(11) Sesudah itu Dia berkuasa kepada langit yang masih berwujud asap (partikel-partikel mikro), lalu bersabda kepada langit dan kepada bumi: “Datanglah kamu berdua dengan sukarela atau terpaksa.” Kedua-duanya (langit dan bumi) menjawab: “Kami datang dengan sukarela.”

(12) Dia menggubah tujuh langit dalam dua Periode dan mewahyukan kepada setiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit dunia dengan pelita-pelita dan perlindungan. Itulah takdir Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.

Oleh karena langit dan bumi tercipta secara bersama-sama (ayat 11), maka dua Periode penciptaan langit (ayat 12) identik dengan dua Periode penciptaan bumi (ayat 9), dan dua Periode penciptaan langit dan bumi itu berlangsung sesudah empat Periode penciptaan rawasiya (ayat 10), sebab ayat 10 dan ayat 11 dihubungkan oleh kata tsumma (“kemudian, selanjutnya, sesudah itu”). Jadi, enam Periode penciptaan alam semesta terdiri atas empat Periode penciptaan rawasiya (peneguh) dan dua Periode penciptaan materi (langit dan bumi)


Setelah terjadinya ledakan besar, benda-benda luar angkasa tidak terbentuk secara sekaligus, tapi melewati tahapan-tahapan tertentu. Observasi dan penelitian ilmiah memastikan bahwa setelah terjadinya ledakan besar, benda luar angkasa yang pertama kali terbentuk adalah galaksi.

Ledakan berikutnya yang terjadi pada bagian galaksi, mengakibatkan terbentuknya gugusan bintang-bintang. Kemudian terbentuk planet yang memisahkan diri dari bintang dan selanjutnya satelit yang memisahkan diri dari planet.

Urutan waktu bagi penciptaan benda-benda langit ini menunjukkan bahwa semua benda luar angkasa ini diciptakan dengan ketelitian yang tinggi. Di mana penciptaannya mustahil terjadi secara kebetulan tanpa ada yang mengendalikannya.

Al-Qur'an telah mengisyaratkan hal ini dalam surah Asy-Syams ayat 1 dan 2. Allah SWT berfirman: “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan apabila bulan mengiringinya."

Ayat ini menggambarkan kepada kita bahwa bulan tercipta setelah penciptaan matahari. Dan ini sesuai dengan yang ditetapkan para ilmuwan berdasarkan pengamatan dan penelitian yang mereka lakukan bahwa bumi tercipta setelah memisahkan diri dari matahari.

Yang disusul kemudian dengan terciptanya bulan yang memisahkan diri dari bumi. Selanjutnya keduanya mengalami proses yang panjang sampai menjadi bumi dan bulan seperti yang ada sekarang ini.



"Dari semula kita ini sebuah perjalanan,,ada awal ada akhir, suka tidak suka kita akan menemui sebuah akhir yaitu tujuan yang hakiki, hidup dan mati adalah bahasa yang mengkiaskan perpindahan dimensi."


Subhanallah!       
0 Komentar untuk "Langit dan Bumi yang Tujuh"

Back To Top